Rabu, 27 Juli 2011

Kerajaan-Kerajaan Yang Ada di Bengkulu

Sekitar abad ke-12 sampai abad ke-17 di daerah Bengkulu terdapat kerajaan-kerajaan kecil antara lain :

1. Kerajaan Selebar di Daerah Pelabuhan Pulau Baai dan Jenggalu, Bengkulu Selatan.

2. Kerajaan Sungai Serut di Bengkulu.

3. Kerajaan Sungai Lemau di Pondok Kelapa Bengkulu Utara.

4. Kerajaan Empat Petulai di Daerah Rejang Lebong.

5. Kerajaan Indera Pura di Muko-Muko Bengkulu Utara.

6. Kerajaan Sungai Itam di Daerah Lebak Bengkulu Utara.

7. Kerajaan Gedung Agung dan Manau Riang di Bengkulu Selatan.

Sampai pada akhir abad ke-15 kerajaan-kerajaan kecil di daerah Bengkulu berada di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit yang mengalahkan Sriwijaya pada abad ke 13. Dalam periode ini kerajaan-kerajaan kecil di daerah Bengkulu, khususnya di daerah Rejang Lebong, dipimpin oleh para Bikaw atau Biksu (pimpinan agama Budha) yang datang dari kerajaan Sriwijaya. Dan dalam periode ini pula di Bengkulu berkembang tulisan asli daerah dengan abjad Ka Ga Nga. Setelah kekuasaan kerajaan Majapahit mundur pada pertengahan abad ke-16 kerajaan-kerajaan kecil di daerah Bengkulu masuk ke dalam pengaruh Kesultanan Banten, terutama di daerah pantai mulai dari kerajaan Selebar di Sungai Jenggalu sampai batas sungai Urai di Bengkulu Utara. Sejak pengaruh dari Kesultanan Banten itulah agama Islam masuk Ke Bengkulu. Sementara itu sejak permulaan abad ke-17 berkembang pula pengaruh dari Kerajaan Aceh dari Utara melalui hubungan dagang terutama dalam perdagangan lada dan juga membawa pengaruh dalam perkembangan agama Islam. Khusus terhadap kerajaan Sungai Lemau kira-kira pada permulaan abad ke-17 berkembang pula pengaruh dari Kerajaan Melayu "Pagar Ruyung".

Pada kurun waktu antara 1685-1824, Dalam masa pemerintahan Inggris selama + 140 tahun tidak banyak terjadi perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat Bengkulu karena pemerintah Inggris pada masa itu hanya memusatkan perhatian pada penguasaan perdagangan lada dan kopi saja, tidak mencampuri urusan pemerintahan atau kemasyarakatan. Peninggalan-peninggalan dari pemerintah Inggris yang masih terdapat di Bengkulu saat ini antara lain Benteng Marlborough dan beberapa monumen lainnya di kota Bengkulu, bekas Benteng "Fort York" dibagian Utara kota Bengkulu, Fort Anna di Muko-Muko dan Fort Linau di Bintuhan.
Dalam kurun waktu dari 1824 sampai dengan 1942 Propinsi Bengkulu berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Berbeda dengan periode pemerintahan Inggris sebelumnya, dalam periode Pemerintahan Hindia Belanda selama + 118 tahun kehidupan masyarakat di daerah Bengkulu sepenuhnya berada di bawah kekuasaan penjajah, baik dalam penguasaan bidang pemerintahan bahkan sampai mencampuri kehidupan kemasyarakatan dan adat istiadat. Pada masa ini, pemerintah telah mencoba melakukan pembakuan hukum adat bagi suku-suku yang hidup di daerah Bengkulu. Upaya pembakuan hukum adat, yang disebut Undang-Undang Simbur Cahaya, dilakukan pada tanggal 21 Februari 1862 oleh J. Walland, Asisten Residen yang mengepalai wilayah Bengkulu pada masa itu. Pada tahun 1862 itu juga, Sultan Muko-Muko menetapkan kitab undang-undang bagi masyarakat di kesultanan Muko-Muko yang disebut Oendang-Oendang Moeko-Moeko.

Pembakuan hukum adat untuk masyarakat di daerah Bengkulu seperti tersebut di atas ternyata menimbulkan keresahan di kalangan anak negeri. Banyak kalangan masyarakat berpendapat bahwa banyak hal dalam undang-undang Simbur Cahaya yang bertentangan dengan dengan adat-istiadat yang selama ini berlaku dalam kehidupan masing-masing suku di Bengkulu. Hal ini menyebabkan adat-istiadat yang selama ini berlaku semakin terdesak oleh undang-undang yang baru, dan membuka peluang pula tindakan sewenang-wenang dari para penguasa. Dengan timbulnya keresahan ini maka mulai tahun 1909 (pada masa pemerintahan Residen O.L. Helfrich) dilakukan penyusunan ulang undang-undang adat daerah Bengkulu. Penyusunan undang-undang baru dilakukan oleh suatu permusyawaratan besar oleh masing-masing afdeeling dan onderafdeeling. Dalam tahun 1910, Undang-Undang Adat Lembaga untuk setiap afdeeling (onderafdeeling) telah rampung disusun, dan pada tahun 1911 undang-undang tersebut disahkan oleh residen.
Periode Pemerintahan Militer Jepang (1942-1945), sebagai mana halnya di daerah-daerah lainnya di Indonesia, kehidupan rakyat di daerah Bengkulu dalam periode ini sangat menderita. Rakyat ditindas, diperas dan dihina. Hasil bumi dan harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan Jepang. Tenaga rakyat diperas sebagai tenaga Romusha untuk mendukung kepentingan Jepang dalam upaya memenangkan peperangan Asia Timur Raya. Dalam periode ini kehidupan rakyat sangat melarat, penyakit merajalela, mental dan daya imajinasi rakyat menjadi sangat merosot.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar